Jakarta, MinergyNews– Pertamina adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki Pemerintah Indonesia. Berdiri sejak 10 Desember 1957 dengan nama PT PERMINA. Pada tahun 1961 perusahaan ini berganti nama menjadi PN PERMINA dan setelah merger dengan PN PERTAMIN di tahun 1968 namanya berubah menjadi PN PERTAMINA.
Dengan bergulirnya UU No.8 Tahun 1971 sebutan perusahaan menjadi Pertamina yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Sebutan ini tetap dipakai setelah Pertamina berubah status hukumnya menjadi PT. Pertamina (Persero) pada tanggal 17 September 2003 berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sejak menjadi PT. Pertamina (Persero) tahun 2003 sampai sekarang Struktur Organisasi PT. Pertamina (Persero) beberapa kali mengalami perubahan.
Sebagai BUMN, Pertamina tunduk pada Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang bertujuan bukan hanya sekedar mengejar keuntungan dan memberikan sumbangan pada penerimaan negara namun BUMN adalah salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Perubahan Struktur Organisasi yang signifikan terjadi pada Pertengahan Tahun 2020. Lewat Salinan Keputusan Menteri BUMN nomor SK-198/MBU/06/2020, tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan AnggotaAnggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina tertanggal 12 Juni 2020, pemerintah menetapkan struktur organisasi Direksi yang semula 11 orang menjadi 6 orang.
Sedangkan Direktorat Operasional yang sebelumnya ada di Pertamina masuk ke dalam beberapa subholding yang telah dibentuk, yaitu Subholding Upstream (PT. Pertamina Hulu Energi), Subholding Refinery & Petrochemical (PT. Kilang Pertamina Indonesia), Subholding Commercial & Trading (PT. Pertamina Patra Niaga), Subholding Power & New and Renewable Energi (PT. Pertamina Power Indonesia), serta Shipping Company (PT. Pertamina International Shipping).
Semua subholding tersebut akan menjalankan bisnis bersama dengan Subholding Gas yang sebelumnya telah terbentuk di bawah Pertamina melalui PT. Perusahaan Gas Negara Tbk sejak 2018.
Penetapan subholding tersebut tertuang dalam Surat Keputusan yang ditandatangani Dirut Pertamina, Nicke Widyawati pada tanggal 12 Juni 2020 dengan No.Kpts-18/C00000/2020-SO. Surat tersebut dikeluarkan pasca Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang diadakan di Kementerian BUMN Jumat pagi (12/6/2020) di Jakarta.
Terbentuknya Holding Subholding dan Rencana akan dilakukannya IPO terhadap 5 Anak Usaha Inti Pertamina, apalagi 3 dari 5 Anak Usaha Inti Pertamina tersebut yakni PT. Pertamina Geothermal Energy, PT. Pertamina Hulu Energi, dan PT. Pertamina International Shipping adalah anak usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga rencana ini akan menimbulkan beberapa kekhawatiran.
Sedikitnya ada 7 kekhawatiran yang akan ditimbulkan jika Holding-Subholding ini direalisasikan, dengan dilakukannya IPO anak usaha Pertamina. Kekhawatiran yang dimaksud yakni:
Pertama, berpotensi melanggar UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf (c) dan (d), bahwa “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;” bunyi pasal 77 huruf (c).
Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi, demikian tulis pasal 77 huruf (d).
Kedua, besarnya potensi Pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.
Ketiga, transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.
“Ditambah lagi manajemen yang kelihatannya efisien karena dari 11 hanya menjadi 6 direksi. Padahal ternyata banyak penambahan direksi pada sub holding,” ujar Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar.
Keempat, potensi terjadinya Silo Silo antar subholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing.
“Terjadi tumpang tindih yang terjadi antara sub holding,” ujar Arie.
Kelima, kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO. Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin antar subholding saling bersaing ketimbang memikirkan kepentingan rakyat.
Keenam, hilangnya Previlege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO.
“Kita tahu ketika sub holding di IPO itu menjadi perusahaan privat,” tegas Arie.
Terakhir, mengancam Ketahanan Energi Nasional dan Program Pemerataan Pembangunan (BBM 1 harga) tak berjalan.
FSPPB sesuai dengan visi dan misinya terus berjuang untuk menjaga kelangsungan bisnis Pertamina dan keadulatan energi nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berbagai upaya telah kami lakukan sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di negeri ini.
“Serikat pekerja dapat memberikan sumbangan pemikiran yang mencakup yang lebih luas,” tuturnya.
“FSPPB telah melakukan class action termasuk permohonan JR ke Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.
Salah satu bentuk perjuangan dan juga kontribusi FSPPB untuk negeri, yaitu dengan d selenggarakan webinar ini dengan menghadirkan beberapa pemateri yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses restrukturisasi dan rencana privatisasi Pertamina.
“Semoga kita dapat menarik benang merahnya dan mempertimbangkan kembali Holding-Subholding dan IPO anak usaha Pertamina ini,” tegas Arie.
“Marilah para stakeholder saat ini mampu untuk berpikir sejak tentang cita-cita para pendiri bangsa ketika mendirikan Pertamina. Jangan sampai karena keserakahan segelintir orang yang memimpin negeri ini, menjadikannya lupa dan mengkhianati akan cita-cita para Founding Fathers yang telah mencetuskan konsep Pasal 33 UUD 1945,” tukasnya.
UU Migas Jadi Pangkal Masalah
Praktisi Migas, DR. Kurtubi mengatakan, sumber dari permasalahan migas di Indonesia saat ini adalah UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, dimana didalam UU tersebut memberikan kuasa pertambangan kepada negara. UU tersebut, kata dia, membuat pengelolaan migas dilakukan secara B to G (Business to Government).
“Gak boleh pemerintah ikut campur dalam berkontrak bisnis migas, maka ini kedaulatan negara jadi tergadiakan (lewat BP Migas), sistem yang jelek ini dipakai dipertambangan. B to G ga harus dipake lagi,” ujar DR Kurtubi.
“Pemerintah di dunia itu gak ada yang berbisis, gak boleh, gak eligibel, gak memenuhi syarat,” sebutnya.
Padahal, kata dia, dengan UU Nomor 8 Tahun 1971, dimana kuasa pertambangan ada di tangan Pertamina, skema bisnis dilakukan secara B to B (Business to Business).
“Dengan kuasa pertambangan, Pertamina bisa kuasa mengundang investor dari manapun, investor dipermudah karena negara tidak mau keluarkan uang untuk investasi yang penuh risiko. Maka UU itu dipermudah izinnya. Ini menjadi kan pengelolaan jadi simpel terkenal di dunia,” kata Kurtubi.
Menurut Kurtubi, pemerintah seharusnya kembali ke UU tahun 1971 agar kedaulatan energi bisa tercapai. Sebab, ketika kuasa pertambangan di tangan negara, padahal negara tidak menambang sendiri, tidak menjual sendiri, maka hal itulah yang membuat kinerja migas menurun.
“Ini penyebab utama industri migas di tanah air jadi hancur, produksi minyak anjlok dari 1,5 juta barel sekarang di bawah 700 barel per hari, dulu terkenal eksportir di asia timur,” ungkapnya.
“UU BUMN melarang privatisasi BUMN Persero tapi boleh anak-anak usahanya, ini diakali terus rakyat indonesia. Gak boleh itu, malu saya sebagai bangsa menipu diri sendiri, Saya sarankan pada menteri tokoh bangsa yang berniat menjual aset negara dengan memecah belah perishaaan kinyak dari hulu hilir terintegrasi,” sambungnya.
IPO Hanya Untuk Holding Geothermal
Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron dalam kesempatan yang sama menjelaskan, terkait restrukturisasi Pertamina sudah dibahas di DPR. Dia mengakui, yang menjadi permasalahan besar adalah ketika ada rencana untuk melakukan IPO.
“Saya termasuk yang mengkritisi rencana itu,” tuturnya.
Herman juga mengakui terkait IPO pernah dibahas dalam rapat DPR. Menurutnya hal itu adalah dilema besar bagi direksi untuk tidak menjalankan kebijakan pemerintah.
“Dalam beberapa hal yang pernah disampaikan kepada kami, ini memberikan keyakinan, yaitu pembentukan sub holding ini lebih memberikan prospektif bagi korporasi maupun bagi masyarakat, baik melalui dividen, pajak, revenue maupun melalui retribusi lainnya,”
“Kedua adalah ingin memperkuat daya saing dan ketiga adalah percepatan untuk melakukan akselerasi,”
Menurutnya, Pertamina ditugaskan Pemerintah untuk menggenjot di hulu, harus membangun kilang, termasuk juga bagaimana biodiesel bisa dibuat seutuhnya di Pertamina, serta mengacu pada bauran energi yang utamanya di Geothermal dan membangun EV bateray yang merupakan energi masa depan, termasuk juga BUMN satu harga dan lain-lain.
Herman mengungkap, hingga saat ini yang disampaikan oleh Pertamina bahwa IPO hanya akan dilaksanakan untuk Geothermal.
“Karena memang Geothermal butuh kapital yang lebih besar. Karena dengan banyak penugasan, termasuk BBM satu harga dan lainnya, ini berat. Kecuali ada dukungan lainnya. Ini yang secara rasional bisa menangkap bahwa ada keinginan Pertamina untuk mengakselerasi,” ungkapnya.
“Pertamina masih tetap BUMN murni, masih 100 persen milik merah putih. IPO akan dilakukan terhadap geothermal ksrena resiko di geothermal ini sangat besar, jadi resikonya perlu ditanggung renteng secara bersama,” tegasnya.
“Tidak ada aset yang nantinya jadi milik asing. Kami akan mendalami. Ini sebuah pilihan,” pungkasnya.