Jakarta, MinergyNews– Strategi Pemerintah dalam mendorong terciptanya penyediaan listrik dari energi terbarukan telah dirancang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Namun, realisasi bauran energi hingga 2023 baru mencapai 13,2% dari target 17,9%. Peran perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) menjadi kunci dalam mencapai target tersebut, mengingat tenaga air merupakan salah satu sumber energi baru terbarukan (EBT) yang paling stabil dan ekonomis.
Dalam episode podcast bertajuk “Deras Sungai untuk Ekonomi”, Idekonomi menghadirkan Presiden Direktur PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), Aldo Artoko. ARKO merupakan salah satu perusahaan terdepan di bidang penyediaan listrik dengan sumber daya terbarukan di Indonesia. Episode ini menyoroti isu optimalisasi potensi energi terbarukan di Indonesia, dengan sorotan khusus pada peran sektor swasta dan bagaimana pemerintah dapat memberikan dukungan bagi swasta, serta berbagai tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan potensi tersebut.
Dari seluruh jenis sumber daya terbarukan, Aldo menuturkan bahwa air tetap menjadi salah satu sumber daya yang paling dapat diandalkan di Indonesia. “PLTA itu sifatnya baseload, selain itu ada intermittent. Kalau baseload, kita bisa produksi terus dengan tenaga yang sama untuk jangka waktu yang cukup panjang. Sementara intermittent, contoh yang paling visible itu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Kenapa PLTS disebut intermittent? Karena siang bisa produksi, sedangkan malam tidak bisa produksi. Sehingga PLN (Perusahaan Listrik Negara) dari sisi operator harus bisa menyesuaikan kapan demand-nya tinggi, mereka harus bisa menyalurkan tenaga yang dibutuhkan. Sedangkan kalau demand-nya tidak tinggi, dia tidak bisa menyalurkan tenaga yang besar. Lalu, PLT Angin juga sifatnya intermittent. Karena kalau di Indonesia itu, beban puncaknya di malam hari, sedangkan PLTS tidak bisa produksi di malam hari,” ujar Aldo.
Meskipun PLTA merupakan sumber daya yang menghasilkan listrik secara konsisten dan mudah diprediksi, investasi awalnya cenderung lebih tinggi dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bersumber dari bahan fosil seperti gas dan batubara. Namun, terlepas dari tingginya biaya investasi di awal, Aldo berpendapat bahwa listrik yang dihasilkan PLTA tidak akan terpengaruh fluktuasi harga komoditas – sehingga PLN dapat memprediksi biaya yang dikeluarkan untuk membeli listrik dengan lebih mudah. “Nah, untuk PLTU, meskipun biaya pembangunan awalnya lebih murah, tapi ada harga komoditas yang harus selalu diperhitungkan,” tambah Aldo. Aldo juga berbagi pengalaman dari Norwegia yang mana meskipun menjadi salah satu produsen minyak terbesar di Eropa, berhasil memenuhi 98% kebutuhan listriknya dengan energi terbarukan, di mana 95% nya berasal dari PLTA. Hal ini membuat tarif listrik di Norwegia tetap stabil dan rendah, tanpa dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas minyak dunia.
Di Indonesia, sektor swasta masih menghadapi tantangan regulasi dan pembiayaan dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, sejak 2020, Aldo berpendapat bahwa pemerintah terasa lebih serius dalam mendorong pengembangan EBT dan semakin banyak lembaga keuangan yang memberikan dukungan pendanaan.
“Tentunya, dari sisi regulasi bisa macam-macam untuk mendukung, misalnya dengan memberikan harga yang lebih baik, supaya return-nya lebih baik. Karena PLN ingin profit sebesar-besarnya, sementara pelaku swasta, kalau profit-nya tidak besar, otomatis akan sulit menarik investor. PLN juga punya target sendiri, kan? Misalnya, you are the director of PLN, you negotiate dengan saya untuk beli listrik, pasti you mau harganya serendah mungkin, kan? Sedangkan saya maunya setinggi mungkin. How do you find balance? Di mana harga yang tepat, agar capital inflow dari luar atau manapun bisa masuk, dan bank-bank luar negeri juga tertarik mendanai dengan tarif yang kompetitif, tapi PLN juga tidak rugi. And it’s challenging, karena pasar listrik di Indonesia itu monopoli. Di luar negeri ada free trade market, jadi produsen listrik bisa menjual ke siapa saja yang mau beli. Di model free trade market ini, renewable energy kadang dihargai lebih tinggi karena negara memberikan mandat untuk punya sekian persen pembangkit listrik dari renewable. Jadi otomatis, mereka mau bayar lebih untuk energi yang lebih baik. Tapi di Indonesia, kita belum sampai situ. But that’s something I am very optimistic about our country,“ pungkas Aldo.
Terakhir, Aldo menyampaikan pesan kepada para pengusaha yang tertarik atau sudah berkecimpung di sektor EBT, bahwa penting untuk menjaga keseimbangan antara optimisme dan pesimisme jika berbisnis energi terbarukan. Dengan keseimbangan ini, PT Arkora Hydro Tbk kini memiliki total kapasitas PLTA mencapai 42.8 MW dengan target 200 MW pada 2025.