Jakarta, MinergyNews– Dengan tegas Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN) menolak skema Power Wheeling yang merupakan sebuah konsep lama yang dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan. Pasalnya, skema Power Wheeling tersebut dinilai sebagai benalu dalam transisi energi nasional.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ketua Umum DPP SP PT PLN, M. Abrar Ali dalam konferensi persnya di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Jumat (06/09/2024).
Menurut Abrar, skema yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) tersebut memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.
“Penerapan Power Wheeling dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi,” ujarnya.
Abrar menjelaskan, skema Power Wheeling sangat kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022. Power Wheeling merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan unbundling. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
“Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan,” katanya.
Nantinya, lanjut Abrar, skema Power Wheeling menjadi potensi sengketa. Pasalnya, Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas.
Sebagaimana diketahui, konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Selain itu, menurut dirinya, Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan konsep unbundling ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam sektor kelistrikan.
“Kemunculan kembali skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini,” cetusnya.
Sementara itu, Abrar menambahkan, terdapat indikasi adanya upaya privatisasi besar-besaran di sektor kelistrikan melalui pasal-pasal tertentu dalam RUU EBT. Privatisasi ini memungkinkan peran swasta lebih dominan dalam penyediaan energi terbarukan, meskipun tujuan awal dari RUU tersebut adalah untuk mendorong transisi energi menuju netral karbon pada tahun 2060.
“Liberalisasi ini dapat mereduksi peran negara dan berpotensi membahayakan ketahanan energi nasional,” tuturnya.
Abrar memberi contoh studi kasus atas konsep Power Wheeling yang pernah diterapkan di negara Filipina, dimana terjadinya privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001. Seharusnya pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan Power Wheeling. Sejak penerapan skema Power Wheeling di Filipina, harga listrik mengalami kenaikan sebesar 55 persen.
“Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan berdasarkan mekanisme pasar, sehingga hal ini membuka peluang bagi pembentukan kartel yang dapat memonopoli harga dan mengurangi persaingan sehat di sektor ketenagalistrikan,” tandasnya.